PSP — Pertama demokrasi punya proses yang bottom up, ciri khas nya adalah proses yang lama namun pasti. Begitu sudah di eksis di atas maka tidak bisa diturunkan kembali karena sdh jadi konsensus bangsa.
Ini yang terjadi pada reformasi dalam 40 an tahun pergulatan kedaulatan rakyat untuk bisa diakui.
Kedua reformasi pada intinya melahirkan tiga hal kebebasan berbicara, amandemen konstitusi dan militer keluar dari kekuasaan.
Namun, yang masih bermasalah merujuk pada pemikiran ilmiah kontemporer (baca Arsitektur Konstitusi Demokratik dan Dinamika Konstitusi Indonesia, Hendarmin Ranadireksa) adalah masih butuh nya amandemen untuk menyempurnakan struktur fungsi aspirasi kewilayahan (DPD agar bisa berfungsi penuh, sementara DPR fokus pada fungsi aspirasi ideologi).
Ketiga pada restorasi otonomi daerah yang memiliki fenomena semrawut dan tidak terkoordinasi. Yaitu dengan meletakkan kewenangan otonomi pada provinsi dan semua kota dan kabupaten berada dibawah koordinasi dan kendali gubernur. Jika ada Ketakutan yang mengkhawatirkan jika provinsi sukses dan makmur maka ingin merdeka, sehingga harus di device et impera jadi kekuatan kecil dalam kabupaten dan kota. Ketakutan ini tidak beralasan, karena ibarat seorang istri yang sejahtera, hidup nyaman, pasti akan bahagia dan tidak akan pernah berpikir ingin cerai.
Keempat, perlu dicarikan formula mudah, murah, aman, pada sistem pemilu kita. Karena prinsip pemilu bukanlah pesta demokrasi yang mahal, rumit dan tertutup namun “rutinitas demokrasi” yang mudah dan murah serta terbuka untuk pengamanan. Sehingga pemilu bisa tiap saat digelar untuk memilih pemimpin.
Terakhir, kelima kita harus mencari segera konsensus pada dua hal agar konsisten yaitu pada: sistem presidensiil atau parlementer. Kedua pilihan sistem ini sama bagusnya dan teruji. Namun ketika dicampur maka muncul masalah seperti yang kita alami sejak reformasi, ketidak stabilan politik.
Kemudian pada pilihan bentuk negara kesatuan atau federasi. Kembali kedua pilihan sama bagusnya dan teruji. Namun ketika tidak jelas maka akan bermasalah secara sistemik seperti sekarang.
Federasi dan Kesatuan bedanya hanya pada tingkatan hukum saja, federasi menganut hukum bertingkat hukum federal dan hukum negara bagian/provinsi (spt amerika, malaysia, australia). Sementara kesatuan hanya punya satu hukum nasional saja (spt perancis, korea selatan, jepang). Keduanya juga mengenal desentralisasi kekuasaan.
Rakyat mau kesatuan okay, mau federasi juga no problem. Yang penting jelas dan konsisten.
Mari kita restorasi pada prinsip bernegara yang benar dengan sistem universal bernegara yang sudah teruji. Bukan pada sistem uji coba.
Buat negara kok coba coba?
Oleh : Prananda Surya Paloh