Anggota Komisi I DPR RI, Prananda Surya Paloh turut menyampaikan kritiknya terkait rencana pembelian tiga helikopter oleh TNI AU dalam satu tahun ke depan. Sebelumnya, diketahui rencana pembelian helikopter jenis Agustawestland AW 101 menuai kritik berbagai kalangan. Penyebutan merek produk yang hendak dibeli, hingga kualifikasinya dibanding produk dalam negeri menjadi polemik hangat beberapa hari belakangan. TNI AU sendiri, menyatakan pembelian helikopter itu bermaksud menggantikan Super Puma TNI AU VVIP yang usianya terhitung sudah tua.
“Kalau dilihat dari usia, helikopter ya sudah tua. Namun jangan lupa bahwa helikopter bisa di nol kan lagi usia operasionalnya, dengan program refurbished dan retrofitted,” tukas Prananda di sela kunjungannya di Sumatera Utara.
Menanggapi kritik para pengamat terkait jenis produk helikopter yang sudah ditentukan secara detail, Prananda menduga pembelian itu sudah melalui proses akuisisi sebelumnya, sehingga sekarang tinggal mengumumkan pemenangya. Meskipun begitu, dia tak bisa berandai-andai mengenai prosedur tender yang menyertai pembelian itu. Terlepas polemik soal tender itu, Nanda membenarkan, bahwa produk yang akan dibeli TNI AU memiliki beberapa pesaing, antara lain Eurocopter EC225, NHIndustries NH90, atau Sikorsky S-92.
Dalam hematnya, TNI AU selayaknya mengkaji pilihan produk paling tepat di antara berbagai jenis helikopter yang tersedia. Selain itu, Nanda juga menyitir UU No 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan dan Keamanan. Undang-undang itu mengamanatkan pembelian perangkat pertahanan agar diprioritaskan pada produk-produk dalam negeri. Meski demikian, Nanda tak menampik jika ada pertimbangan lain yang bisa dijelaskan pihak TNI AU.
“Mungkin ada pertimbangan lain yang harus dijelaskan secara rasional dan realistis pada parlemen dan publik,” tutur anggota dewan dari Dapil Sumatera Utara I.
Lebih lanjut, Nanda tak menyanggah bahwa jenis helikopter yang akan dibeli termasuk generasi terbaru yang bisa diandalkan, dengan spesifikasi mesin yang sangat kuat. Tapi legislator lulusan Monash University Australia ini menyayangkan tingginya harga produk buatan Inggris dan Italia itu. Dia membandingkan mahalnya harga helikopter itu dengan kondisi ekonomi dunia, termasuk kondisi rakyat Indonesia yang belum menggembirakan. Atas pertimbangan itu, Nanda memandang hendaknya TNI AU lebih bersabar melakukan belanja helikopter ini, setidaknya hingga beberapa tahun ke depan.
Nanda menyebutkan berbagai alternatif yang bisa ditempuh TNI AU, jika pembelian helikopter itu memang dirasa mendesak. Dalam hematnya, bisa saja helikopter Super Puma VVIP yang sudah dimiliki TNI AU dipanjangkan usianya, sembari merenovasi tingkat kenyamanannya. Kalau mau helikopter yang anti peluru, bisa juga memodifikasi helikopter Mil 35 asal Rusia yang sudah ada.
“Pada prinsipnya, semua inventori helikopter milik TNI bisa saja dijadikan TNI AU 1. Seperti film Air Force One. Di adegan terakhir, pesawat C130 Hercules milik USAF dijadikan Air Force One saat Presiden Amerika diselamatkan,” pungkas Prananda.
Sumber : Fraksi Nasdem