Rencana lawatan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat (AS) pada 25 Oktober hingga 28 Oktober mendatang mengagendakan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Menurut rencana, Presiden Jokowi dan Barrack Obama akan membahas berbagai tantangan global yang penting untuk disikapi saat ini.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Prananda Surya Paloh, membaca arah pertemuan akan mengerucut pada beberapa persoalan krusial yang menjadi prioritas kedua negara.
Berbagai persoalan itu mencakup ranah bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, maupun ranah global yang melibatkan negara-negara di dunia. Dalam kerangka itu, setidaknya ada empat ranah prioritas kerja sama yang perlu dirajut Indonesia dan Amerika Serikat. Empat ranah itu adalah ekonomi, pertahanan, pendidikan, dan budaya toleran.
“Pertama, yang menjadi prioritas nampaknya sektor ekonomi dan pertahanan,” ujar Nanda dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/10/2015).
Menurutnya, ekonomi adalah primus interpares (terutama di antara yang sama-red) karena dampak perang Yuan versus Dollar telah memicu penurunan nilai komoditi pertanian di Indonesia. Ini membutuhkan asistensi dan atensi Amerika Serikat, mengingat kuatnya perekonomian Indonesia juga akan berdampak baik terhadap Amerika Serikat.
“Ada baiknya kerjasama ekonomi dalam bentuk asistensi kebijakan investasi agar menarik, tapi saling menguntungkan. Ini bisa dilanjutkan dengan dorongan FDI (foreign direct investmen-red) agar segera masuk dan beraktivitas disini,” saran Nanda.
Selain itu, lulusan Monash University, Australia ini memandang, kerjasama dalam bidang pertahanan dan pendidikan juga cukup penting. Dalam bidang pertahanan misalnya, dia menekankan vitalnya peningkatan skill manajemen integrated defense and logistics (integrasi logistik dan pertahanan-red).
“Kita butuh tempat dan teman latihan di medan yang tidak ada di Indonesia, seperti gurun, salju dan sebagainya. Sementara di bidang pendidikan, kita bisa menawarkan kerjasama riset sosial dan teknologi tropis dengan Amerika Serikat,” jelasnya.
Menanggapi kentalnya kepentingan AS terkait isu-isu toleransi beragama, Islam moderat, dan deradikalisasi, Prananda memandang bahwa stabilitas regional memanglah penting bagi Amerika Serikat.
“Bayangkan, jika Indonesia membiarkan radikalisme mengambil alih ketenangan dan keamanan warga. Posisi kita yang strategis dilewati oleh logistik dunia bisa terpengaruh atau bahkan terganggu. Sehingga mereka ikut mendorong RI untuk semakin toleran dan menghapus radikalisme di Indonesia,” tegas Nanda.
Terkait pernyataan Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, yang meminta Amerika Serikat membujuk Presiden Jokowi untuk mengadaptasi nilai-nilai demokrasi liberal di Indonesia, Nanda berdalih bahwa demokrasi tak perlu embel-embel.
“Demokrasi itu simple, dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat, itu yang kita lakukan sejak 1998. Kita menjadikan diri sebagai entitas nasionalis yang berkarakter Bhinneka Tunggal Ika namun juga tetap berbicara sebagai warga dunia. Karena dalam prinsip Pancasila ada nilai internasionalisme yang
ditanamkan Founding Fathers,” beber Nanda.
Lebih jauh, dalam kacamata Nanda, Australia hanya sedang merasa was-was dengan perilaku pemerintahan Jokowi yang dinilainya lebih nasionalis dan di luar perkiraan mereka. Sebab, selain persoalan demokrasi liberal, Bishop juga meminta Amerika Serikat membujuk Presiden Jokowi untuk lebih terlibat dengan persoalan internasional.
“Kita sendiri memandang Australia bukan sebagai ancaman namun kesempatan. Jadi saya tidak percaya Australia sedemikian khawatirnya jika RI kuat. Bahkan mereka bisa turut dapat rezeki di situ,” lanjutnya.
Terkait persoalan internasional, Nanda berharap Presiden Jokowi juga membahas persoalan Timur Tengah dengan Barrack Obama. Sebagai bangsa pelopor Konferensi Asia Afrika, selayaknya kita menyampaikan ketegasan yang diekspresikan melalui dukungan penuh terhadap perjuangan Palestina.
“Sekarang Palestina sudah menjadi negara observer di PBB. Ini tentunya bagus dan patut didorong agar
menjadi anggota PBB. Sebagai negara yang merdeka,” unkap Nanda.
Terakhir, mengenai perubahan peta geopolitik dunia saat ini, Nanda menekankan bahwa AS dari dulu hingga sekarang tetaplah sahabat Indonesia, terlepas berbagai dinamika yang pernah dan sedang
terjadi.
AS dipandang masih sangat diperlukan karena pengaruh politik, ekonomi, teknologi, militer dan
budayanya masih mendominasi peradaban dunia.
“Amerika Serikat juga secara konstan merubah politik luar negeri, termasuk pandangannya sesuai
perkembangan jaman,” tandasnya.
Berbagai pertimbangan itulah yang menurut Nanda menempatkan AS tetap di dalam posisi strategis dalam pergaulan internasional Indonesia.
Sumber : MetroTVNews