KOMISI I telah mengundang beberapa pakar nasional untuk berkonsultasi ttg RUU Kamnas. Salah satu yang dipermasalahkan adalah RUU ini ditempatkan lebih tinggi dari UU TNI dan UU Polri. Sementara filosofi hukum tidak boleh menempatkan satu UU diatas UU lainnya.
Selain itu dikhawatirkan TNI bisa mengambil wewenang Polri dalam konteks kondisi tertentu. Ini menyebabkan RUU KAMNAS dianggap belum prioritas, karena dirasa cukup melakukan revisi pada UU TNI dan UU Polri.
Pandangan saya pribadi adalah bahwa RUU Kamnas harus mengakomodir prinsip Marshal Law dalam negara demokrasi.
Dimana militer adalah satu satunya Institusi yang di desain untuk kondisi negara yang “abnormal”. Dimana abnormal ini adalah saat institusi sipil lumpuh dan disfungsi karena satu sebab marabahaya bagi negara atau warga negara disebuah wilayah atau seluruh wilayah negara. Marabahaya seperti bencana alam/buatan manusia, situasi khaotik konflik sosial, epidemi penyakit sampai perang. Disinilah saatnya sang Kepala Negara mengumumkan kondisi Darurat Militer) darurat sipil tidak dikenal dalam khazanah bernegara secara internasional).
Saat dimana semua institusi sipil melakukan reorganisasi dan militer diturunkan untuk kurun waktu terbatas melakukan tindakan penanggulangan marabahaya tersebut.
Ini karena militer yang mempunyai 5 sistem yang siap digelar dimanapun kapanpun tanpa harus rumit dengan birokrasi. (sistem: senjata, telekomunikasi, transportasi, medis, logistik).
Disinilah deklarasi Darurat Militer merupakan sinyal yang dimengerti oleh Internasional, bahwa sebuah negara sedang bertahan hidup dari sebuah marabahaya.
Tindakan penanggulangan darurat militer termasuk sampai pada tindakan represif yang terbatas dan terkendali. Seperti contoh perintah tembak mati para musuh atau perusuh dan jam malam. (namun bukan alasan utk melakukan genocide dan pemerkosaan atau penyiksaan). Sehingga vital untuk diatur dalam hukum untuk menghindari ekses yang tidak diinginkan.
Contoh kasus adalah ketika Presiden Amerika Serikat mendeklarasikan Marshall Law di LA 1992 selama 2 hari untuk meredam kerusuhan sosial atau pengerahan Sniper militer pada pasca badai Katrina 2005 untuk menanggulangi perampokan rumah korbam bencana.
Sementara contoh di Indonesia adalah ketika Tsunami 2004, semua negara mengirimkan kontingen militernya namun krn kita belum faham fatsoen nya mereka malah ditempatkan dibawah Dept Sosial bukan Panglima komando bencana dr TNI. Kemudian saat kerusuhan sosial di Ambon, Sampit dll, TNI yang dikerahkan tidak mau melakukan tindak represif pada para warga yang rusuh karena ada keraguan akan pelanggaran HAM. Sehingga kerusuhan dan konflik menjadi berlarut larut. Padahal dibawah Marshall Law, maka tindak represif mematikan diperbolehkan pada sasaran yang terus melakukan tindakan berbahaya, meskipun sudah diperingatkan. Internasional tidak akan melihat itu sebagai pelanggaran HAM.
Atas pengalaman ini semoga semua pihak menyadari bahwa kita butuh sebuah hukum yang dapat mengatur kondisi darurat negeri ini.
Oleh : Prananda Surya Paloh