Dalam menyikapi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) Pasal 80 huruf J menyatakan setiap anggota dewan memiliki hak untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan, maka diusulkan Badan Anggaran DPR RI dalam R-APBN 2016 dana sebesar Rp 20 miliar untuk setiap anggota dewan.
Ini terlihat begitu menggiurkan, namun di balik itu menyimpan potensi masalah. Hal inilahg yang kemudian mendorong Partai NasDem melakukan telaah yang mendalam, dan akhirnya pada level DPP memutuskan untuk menolak dana aspirasi tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa dana aspirasi harus ditolak, yaitu:
Terjadinya fusi fungsi antara Legislatif dengan Eksekutif. Artinya menjadikan DPR yang merupakan pengawas dan pemberi anggaran, menjadi bertambah sebagai pelaksana.
Seperti harus tentukan PAGU Anggaran. Itu pekerjaan Bapeda dan Bapennas dengan Depkeu. Sementara DPR bertugas memberikan persetujuan atau tidak berbasis pertimbangan politis.
Dalam usulan Dana Aspirasi, tiap anggota DPR diminta untuk menentukan proyek (termasuk) dengan pagu anggarannya.Risikonya ketika pagu itu kecil proyek tidak bisa jalan. Namun memberikan pagu terlalu besar bisa dianggap mark up dan ujungnya risiko dituduh korupsi.
Kemudian jika alasannya tidak efektifnya mekanisme formal selama ini, maka jawabannya adalah reformasi sistem formal tersebut. Ada bermacam model yang efektif, seperti contoh ekstrimnya Swiss misalnya tiap minggu rutin meminta referendum warganya untuk penggunaan dana negara pada proyek proyek negara.
Dengan demikian maka terjadi efektivitas anggaran dan kebutuhan masyarakat.
Persoalannya, apakah kita benar-benar serius mereformasi sistem formal yang ada saat ini?
Walahu a’lam bissawab…