PSP News — Selama ini rakyat tak mampu yang kepepet oleh kebutuhan papan, sebagian dari mereka menduduki tanah negara yang kosong atau lemah pengamanannya, dengan berbagai cara. Ini praktek puluhan tahun pada berbagai wilayah Indonesia dan pada tanah belasan instansi.
Dulu hingga beberapa saat lalu, penyelesaiannya selalu memandang rakyat yang bersalah dan untuk itu negara bisa kapan saja melakukan penggusuran.
Ini tentunya membawa konflik sosial, terutama antara rakyat dengan instansi yang menggusurnya. Namun dulu bisa ditutup atas nama kepentingan pembangunan nasional dan pengerahan unsur represif.
Ini melupakan hak azasi manusia, baik pada perlakuan yang tidak manusiawi, sampai hilangnya hak papan warga negara. Sehingga masalah sosial tambahan pun muncul dan ujungnya angka kriminalitas tinggi serta rentan nya berbagai ideologi garis keras masuk.
Fenomena ini berlangsung sampai tibanya Gubernur Joko Widodo dan Wagub Basuki Cahaya Purnama (lantas Gubernur dilanjutkan oleh Basuki Cahaya Purnama/Ahok) dengan menerapkan Strategi Relokasi Rumah Susun.
Jadi wilayah yang dimiliki oleh DKI yang diduduki warga, segera dilakukan relokasi ke wilayah baru yang didirikan rumah susun sewa yang bersubsidi diatasnya.
Bahkan untuk para pensiunan militer di kawasan Berlan, dibuatkan rumah susun yang keren “begaya” mendekati apartemen.
Sehingga strategi baru ini sangat memenuhi unsur pembangunan berbasis Pancasila.
Dalam kasus Polonia dan Rumah Dinas Kodam, ada baiknya menerapkan model rumah susun pengganti.
Namun karena tanah yang dimiliki adalah milik pemerintahan pusat, maka patut dipertimbangkan pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah provinsi untuk menyiapkan rumah susun pengganti untuk warga yang harus direlokasi. Bisa rumah susun milik atau sewa modelnya, tergantung dari kemampuan anggaran.
Sehingga tidak terjadi kontak langsung antara intansi dengan rakyat, kedua nya berurusan dengan pemerintah pusat dan provinsi. Rakyat yang perlu relokasi diberikan lokasi baru dengan rumah susunnya, setelah lahan negara kosong maka lahan diberikan pada instansi. Sehingga negara terkesan tidak cuci tangan pada masalah agraria seperti ini. Karena bagaimanapun, yang menempati lahan negara tesebut tetap merupakan warga negara Indonesia yang punya hak asasi yang harus dilindungi.
Demikianlah pemikiran ini agar bisa diharapkan dijadikan upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia.
Oleh : Prananda Paloh