Anggota Komisi I DPR Prananda Paloh tidak setuju dengan wacana revisi UU Intelijen Negara.
Hal itu terutama, kata dia, terkait usulan Kepala BIN Sutiyoso yang meminta agar intelijen diberi wewenang tambahan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap terduga teroris.
Politisi Partai Nasdem itu mengatakan, BIN selalu tertutup dalam menjalankan operasi intelijen.
Jika lembaga itu diberi wewenang tambahan, dikhawatirkan justru menimbulkan potensi otoriterianisme.
“Untuk mencegah potensi tersebut, revisi UU Intelijen belum diperlukan,” kata Prananda, Rabu (20/1/2016).
Usulan revisi itu sebelumnya disampaikan Sutiyoso ketika menyikapi aksi serangan teror yang terjadi di kawasan sekitar Sarinah, Jakarta Pusat, pekan lalu.
Pasal 31 UU Intelijen Negara telah memberikan wewenang kepada BIN untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran.
Di sisi lain, kata Sutiyoso, wewenang yang diberikan kepada BIN justru dibatasi dengan keberadaan Pasal 34 pada UU yang sama.
Pasal tersebut menyatakan bahwa penggalian informasi yang dilakukan BIN hanya dapat dilakukan tanpa tindak lanjut melakukan penangkapan dan penahanan.
“Yang lebih urgent, menurut saya, adalah penambahan anggaran guna mengembangkan program BIN, bukan revisi agar BIN bisa menangkap orang,” kata dia.
Prananda menambahkan, jika memang penangkapan dan penahanan diperlukan untuk menginterogasi terduga teroris, BIN dapat bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
Menurut dia, kerja sama yang telah dilakukan BIN dengan kepolisian sudah cukup baik.
Hal itu terlihat dari pencegahan aksi teror yang dilakukan ketika perayaan Natal 2015 dan pergantian malam tahun baru 2016 lalu.