Anggota Komisi I DPR RI, Prananda Surya Paloh menolak bila Badan Intelijen Negara (BIN) diberi kewenangan untuk menangkap dan menahan orang yang terindikasi sebagai pelaku teror.
Menurutnya, fitur keamanan sebuah negara demokrasi cenderung mengamanatkan agar dinas rahasia tidak melakukan penangkapan secara langsung. Batasan ini perlu diterapkan guna meminimalisir potensi abuse of power (penyalahgunaan wewenang) oleh negara kepada warganya.
Sebaliknya, dinas rahasia bisa meminta kepolisian mengamankan dan menangkap seseorang, jika memiliki informasi memadai. Selanjutnya kedua institusi tersebut bisa melakukan joint session interogation (interogasi bersama).
“Jika kasus yang ditangani berada di luar jurisdiksi kepolisian, BIN bisa bekerja sama dengan Interpol atau Dinas Rahasia negara lain,” jelasnya di Jakarta, Selasa (19/01/2016)
Jika langkah di atas tidak memungkinkan ditempuh, menurut Prananda, baru dinas rahasia diperbolehkan meringkus tersangka di luar negeri. Langkah ini bisa dilakukan dengan operasi murni intelijen, atau dengan melibatkan kekuatan militer.
Dalam kerangka operasional seperti itu, dia menilai belum ada kebutuhan mendesak untuk merevisi UU Anti Terorisme dengan mengakomodir wewenang penangkapan dan penahanan oleh BIN.
“Yang lebih urgen, menurut saya, adalah penambahan anggaran guna mengembangkan program BIN, bukan revisi agar BIN bisa menangkap orang,” tegasnya.
Jika persoalan wewenang menangkap dan menahan yang dipersoalkan, menurut Nanda, hal itu bisa dikoordinasikan dengan Kapolri, tidak harus dimasukkan dalam Undang-undang. Dia menilai, kewenangan menangkap pelaku kejahatan ekstrim yang selama ini dipegang Polri sudah benar dan tepat.
Lagi pula, tambahnya, selain harus menjelaskan semua operasinya secara tertutup kepada Komisi I DPR RI, BIN juga harus tetap menjalankan akuntabilitas operasionalnya kepada publik. Jika penangkapan dan penahanan tidak terpublikasi maka kewenangan tersebut sangat berpotensi mendorong kekuasan otoriterianisme.
“Untuk mencegah potensi tersebut, revisi UU Intelijen belum diperlukan,” tegas legislator dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara I ini.
Dia justru menyarankan, agar BIN bisa bekerja sama dengan mitra penegak hukum mulai dari Polri, Dinas Imigrasi, Bea Cukai sampai hingga TNI, atau kalau perlu Interpol. Toh menurut Nanda, BIN sudah menunjukkan capaian kinerjanya saat bersama Polri berhasil mencegah aksi teror pada Desember 2015 lalu.
Nanda juga tak mau terjebak pada kontroversi wacana yang menyebut BIN kecolongan pada tragedi teror bom di Jalan MH Thamrin Kamis (14/1/2016) lalu.
“Tidak penting lagi perdebatan apakah BIN kecolongan atau tidak. Yang penting BIN bisa berfungsi optimal dengan program dan anggaran yang sudah mereka ajukan,” pungkas putra Surya Paloh itu.
sumber : lensaIndonesia