Kementerian Pertahanan RI telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 kepada DPR RI. Komisi 1 dalam hal ini telah mengundang sejumlah pakar nasional untuk berkonsultasi. Ada sejumlah permasalahan ditemukan dalam RUU tersebut, salah satunya penempatan UU Kamnas seakan-akan lebih tinggi dari UU TNI dan UU Polri. Selain itu dikhawatirkan TNI bisa mengambil wewenang Polri dalam konteks kondisi tertentu. Ini menyebabkan RUU Kamnas saat ini diangap belum mendesak untuk diprioritaskan. Dirasa cukup melakukan revisi pada UU TNI dan UU Polri.
Menempatkan UU Kamnas lebih tinggi dari UU TNI dan UU Polri tentu bertentangan dengan filosofi hukum. Secara filosofis, kedudukan keduanya sama. Tidak boleh menempatkan suatu UU diatas UU lainnya.
Pandangan saya pribadi adalah bahwa RUU Kamnas sejatinya harus mengakomodir prinsip Marshal Law dalam negara demokrasi, di mana militer adalah satu-satunya institusi yang didesain untuk kondisi negara yang “abnormal”. Kondisi di mana institusi sipil lumpuh dan disfungsi karena satu sebab marabahaya bagi negara atau warga negara di sebuah wilayah atau seluruh wilayah negara. Marabahaya seperti bencana alam/buatan manusia, situasi khaotik konflik sosial, epidemi penyakit sampai perang. Di sinilah saatnya Kepala Negara dapat mengumumkan kondisi Darurat Militer. Darurat sipil tidak dikenal dalam khazanah bernegara secara internasional. Saat di mana semua institusi sipil melakukan reorganisasi dan militer diturunkan untuk kurun waktu terbatas melakukan tindakan penanggulangan marabahaya tersebut. Ini karena militer yang mempunyai 5 sistem yang siap digelar di manapun kapanpun tanpa harus rumit dengan birokrasi. (sistem: senjata, telekomunikasi, transportasi, medis, logistik). Di sinilah deklarasi Darurat Militer merupakan sinyal yang dimengerti oleh Internasional, bahwa sebuah negara sedang bertahan hidup dari sebuah marabahaya. Tindakan penanggulangan darurat militer termasuk sampai pada tindakan represif yang terbatas dan terkendali. Seperti contoh perintah tembak mati para musuh atau perusuh dan jam malam. (namun bukan alasan utk melakukan genocide dan pemerkosaan atau penyiksaan). Sehingga vital untuk diatur dalam hukum untuk menghindari ekses yang tidak diinginkan.
Contoh kasus adalah ketika Presiden Amerika Serikat mendeklarasikan Marshall Law di LA 1992 selama 2 hari untuk meredam kerusuhan sosial atau pengerahan sniper militer pada pasca badai Katrina 2005 untuk menanggulangi perampokan rumah korbam bencana. Sementara contoh di Indonesia adalah ketika Tsunami 2004, semua negara mengirimkan kontingen militernya namun karena kita belum faham fatsoen-nya mereka malah ditempatkan di bawah Departemen Sosial, bukan Panglima komando bencana dari TNI. Kemudian saat kerusuhan sosial di Ambon, Sampit, dll, TNI yang dikerahkan tidak mau melakukan tindak represif pada para warga yang rusuh karena ada keraguan akan pelanggaran HAM. Sehingga kerusuhan dan konflik menjadi berlarut larut. Padahal di bawah Marshall Law, maka tindak represif mematikan diperbolehkan pada sasaran yang terus melakukan tindakan berbahaya, meskipun sudah diperingatkan. Internasional tidak akan melihat itu sebagai pelanggaran HAM.
Atas pengalaman ini semoga semua pihak menyadari bahwa kita butuh sebuah hukum yang dapat mengatur kondisi darurat negeri ini.